Secara de-jure dan de-facto, apakah pemilihan presiden yang sudah kita laksanakan sejak era reformasi ini sudah berlangsung demokratis?
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu elemen kunci dalam pelaksanaan demokrasi untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang paling sesuai dengan keinginan rakyat. Dalam kerangka pikir tersebut, maka hasil Pemilu merupakan cerminan dari keinginan rakyat untuk mewujudkan aspirasi rakyat berupa tercapainya kehidupan yang makmur dan sejahtera. Cara pandang tersebut sejalan dengan konsep yang sangat jamak di dalam politik, yaitu “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” atau yang dikenal luas sebagai “demokrasi.”
Pemerintahan dari rakyat dapat dimaknai bahwa sumber utama kekuasaan (power) yang ada pada sistem pemerintahan berasal dari rakyat. Rakyat mempunyai wewenang untuk memilih pemimpin—baik secara langsung maupun tidak langsung—pemimpin-pemimpin mereka untuk menduduki jabatan di lembaga-lembaga negara. Pemerintahan oleh rakyat bermakna bahwa selain punya wewenang untuk memilih atau menentukan, rakyat juga punya hak untuk dipilih menjadi pemimpin yang menduduki jabatan dalam kelembagaan pemerintahan negara. Dengan kata lain, rakyat juga mempunyai hak untuk menjadi penyelenggara negara. Sementara makna dari pemerintahan untuk rakyat, yaitu penyelenggaraan negara melalui berbagai lembaga atau institusi yang ada semua itu ditujukan untuk kepentingan rakyat.
Konsepsi berupa dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dijawantahkan melalui pemilu. Pemilu dilaksanakan sebagai sarana oleh rakyat untuk menyampaikan suara guna membentuk lembaga perwakilan yang dapat mewujudkan kepentingan rakyat. Dengan kata lain, pemilu dilaksanakan untuk memilih pejabat negara yang menduduki jabatan di kursi pemerintahan. Dalam konteks Indonesia, pejabat yang dipilih melalui pemilu menduduki jabatan di dua ranah yaitu ranah eksekutif dan ranah legislative sebagaimana yang telah diatur oleh undang-undang. Adanya undang- undang yang mengatur pemilu mempunyai beberapa tujuan yang mana dengan adanya pengaturan pemilu akan mampu mewujudkan pemilu yang berkualitas
Perbaikan kualitas pemilu terus dilakukan di Indonesia, terutama pasca reformasi dan pemilu pada tahun 1999. Kita terus melakukan rekayasa kelembagaan guna mencari bentuk yang paling tepat untuk sistem demokrasi Indonesia. Namun pada kenyataannya, usaha-usaha tersebut belum bisa membuahkan hasil secara signifikan. Pemilu sebagai pengejawantahan dari sistem demokrasi masih belum berjalan on the track lantaran pemilu dan kualitas demokrasi di Indonesia masih dalam cengkeraman oligarki dan kartel politik.
Berbagai kajian dari para akademisi, baik lokal maupun internasional, menyimpulkan bahwa proses demokrasi di Indonesia masih tersangkut oleh berbagai kendala. Tercatat beberapa ilmuwan internasional dalam bidang politik mengatakan bahwa kualitas demokrasi di Indonesia mengalami penurunan (Warturbon & Gammon, 2017). Jeffry A. Winters bahkan menyebut demokrasi Indonesia semu, dikarenakan tidak adanya alat demokrasi untuk membatasi kuasa kekayaan yang menyebabkan maraknya politik transaksional di kalangan elit politik.
Selain politik transaksional, kalangan elit politik di Indonesia juga pandai dalam menyiasati berbagai aturan yang berlaku. Dengan berbagai akal dan taktik yang dimiliki, tak jarang kita temui bahwa kalangan elit politik membeli suara pemilih demi memenangkan pemilu. Terjadinya politik uang sudah menjadi rahasia umum dikalangan elit politik demi menggapai kemenangan (Aspinal and Berenschot, 2019). Salah satu kegagalan rekayasa Pemilu yang adil tersebut adalah ketidakmampuan dalam menghindarkan Pemilu dari cengkeraman oligarki dan kartel politik. Oligarki merujuk pada sekelompok elit yang mempunyai kekuatan untuk mengatur proses berjalanya ekonomi-politik di suatu negara, sedangkan kartel merujuk pada kerjasama partai yang memiliki kepentingan sendiri dan berbeda dengan kepentingan publik (Domhott dkk, 2017). Kartel dan oligarki bisa bersifat saling independen, tetapi bisa juga kartel dikendalikan oleh oligarki.
Kartel dan oligarki menjadi racun bagi kehidupan demokrasi di sebuah negara. Oligarki bermain dalam berbagai lini demokrasi. Untuk melanggengkan kepentingannya, oligarki dapat merasuk dalam beberapa elemen sistem demokrasi seperti di arena pemilu, proses pembuatan undang-undang yang menguntungkan dirinya, sampai pada proses kebijakan-kebijakan di berbagai tingkatan yang diatur agar sesuai dengan kepentingannya. Kelompok oligarki terus melakukan lobi-lobi untuk melanggengkan kepentingannya. Sementara permainan para kertel politik berada pada ranah legislatif yang membentuk kelompok untuk mencapai kepentingan kolektif mereka sendiri, yang bisa berbeda dengan kepentingan publik. Kepentingan-kepentingan para kartel politik ini mendistorsi fungsi representatif partai politik dan menurunkan kualitas demokrasi (Ambardi, 2021).
Berbagai persoalan dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia ini tentu menunjukan bahwa secara substansial, pemilu di Indonesia dipenuhi dengan varian persoalan besar dan mengakar yang satu sama lain saling menggerogoti kemandirian Partai. Pada akhirnya, meski tidak bisa semerta menyimpulkan Pilpres pasca reformasi yang tidak demokratis karena dihasilkan dari proses yang menodai legitimasi rakyat itu sendiri, publik luas dan kajian akademik memperlihatkan betapa diperlukannya perubahan pada sistem Pemilu di Indonesia. Semua itu, demi menjamin keberlangsungan demokrasi, serta berpegang kembali kepada ideologi bangsa, Pancasila.
Mengutip Yudi Latif (2022) sistem demokrasi prosedural yang menekankan keterpilihan individu dalam sistem pemilu yang padat modal telah merusak prinsip-prinsip kesetaraan politik dan kesetaraan kesempatan, yang melahirkan demokrasi degeneratif di bawah tirani oligarki. Menurutnya, di bawah tirani oligarki, pilihan kebijakan dan tindakan pemerintahan terdistorsikan komitmennya untuk melaksanakan misi negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Partisipasi Rakyat dan Keberlangsungan Pemerintahan
Memaksimalkan partisipasi rakyat dalam sistem demokrasi berbasis Pancasila menurut kajian Aliansi Kebangsaan dapat dilakukan dengan dua pendekatan. Pertama, pendekatan struktural yaitu pendekatan melalui instrumen hukum dan kelembagaan yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Partisipasi rakyat tidak hanya tergambar dalam praktik pemilu tetapi juga tergambar dalam kemudahan mengakses informasi, dapat mengontrol akuntabilitas pemerintahan sehingga instrumen hukum menjadi sangat penting dan harus diatur melalui undang-undang untuk menjamin hak rakyat dalam mengakses informasi tersebut. Selain itu, keberadaan civil society dan lembaga kontrol lainnya menjadi instrumen kelembagaan yang penting dalam partisipasi rakyat. Instrumen hukum dan kelembagaan perlu diperkuat agar partisipasi masyarakat bisa dimaksimalkan.
Kedua, pendekatan sosio-kultural dimana penekanan pendekatan ini dilakukan melalui proses pendidikan, pengorganisasian, dan pendampingan masyarakat oleh kelompok-kelompok swadaya masyarakat atau akademisi agar masyarakat bisa mengidentifikasikan dan mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan mereka sehingga potensi untuk pemanipulasian aspirasi dan kepentingan masyarakat bisa diminimalisir. Pendampingan ini menjadi penting karena bisa memfasilitasi masyarakat dalam merumuskan dan menyampaikan konsep-konsep alternatif dalam perumusan kebijakan.
Langkah Awal Pasca Pemimpin Terpilih
Sebuah tatanan politik kenegaraan hendaknya dibangun melalui mekanisme demokrasi kerakyatan sesuai dengan paradigma Pancasila. Agen pemangku kebijakan pada ranah tata-kelola adalah rejim politik dengan tujuan memperkuat persatuan nasional dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Merekonstruksi negara adalah meluruskan kembali ide tentang negara dan politik, karena pada saat ini telah banyak terjadi penyimpangan makna dari “Politik”. Pemaknaan mengenai politik tidak hanya terkait dengan bagaimana mengelola urusan publik, tetapi juga bagaimana cara mendapatkan dan membagi kekuasaan, hingga bagaimana cara mempertahankan kekuasaan dalam sebuah negara. Praktek politik tidak boleh hanya sekedar perjuangan untuk mencapai kekuasaan demi kekuasaan, namun harus menghadirkan kebijakan publik yang efektif dan andal demi memenuhi visi dan misi negara. Sayangnya, praktek politik di kebanyakan negara demokrasi, banyak yang memaknai negara hanya sebagai “arena” bagi para elit politik untuk memperebutkan “kursi” atau jabatan politik (Yudi Latif, 2020).
Lembaga tata kelola politik harus ditegakkan dan terus diperkuat karena kepentingan publik harus dapat dikelola secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, terlalu sempit jika politik kerap didefinisikan hanya tentang kekuasaan dan tentang “siapa, mendapat apa, kapan dan dengan cara bagaimana”. Terdapat fungsi demokrasi yang terkadang sering dilupakan yaitu bagaimana demokrasi seharusnya dapat mengobati ketidakpuasan yang pasti akan terjadi pada sebagian kontestan dalam pemilu dan juga para konstituen. Oleh karenanya, hal ini harus menjadi fokus pemimpin terpilih, bahwasanya mengabaikan ketidakpuasan dari hasil Pemilu kelak akan berdampak kepada perpecahan bangsa.
Nofia Fitri adalah Dosen/Peneliti sekaligus Manager Program Aliansi Kebangsaan