Pandemi covid-19 hingga saat ini sudah berjalan hingga kurang lebih 8 bulan sejak diumumkan sebagai pandemi oleh World Health Organization (WHO). Menurut catatan Worldmeters, perkembangan jumlah kasus covid-19 secara global saat ini sudah mencapai angka kurang lebih 38,8 juta total kasus dimana jumlah kematian hingga saat ini 1,09 juta jiwa. Jumlah kasus ini tentu bertambah setiap harinya. Berbagai respon kebijakan yang muncul dari berbagai negara juga beranekaragam dalam upaya menekan penyebaran covid-19. Pemberlakuan larangan perjalanan lintas negara, lockdown, hingga strategi lainnya dilakukan dalam rangka memutus mata rantai penyebaran covid-19. Bagaimana dengan Indonesia? pemerintah Indonesia juga turut mengambil sejumlah kebijakan sebagai upaya mengurangi penyebaran covid-19.
Eksternalitas yang disebabkan oleh covid-19 menyebabkan banyak negara mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif. Beberapa negara pada kuartal II mengalami pertumbuhan ekonomi negatif. Salah satunya adalah Amerika. Amerika mengalami pertumbuhan ekonomi negatif pada kuartal II sebesar 32,9%. Pertumbuhan ekonomi negatif ini juga dialami oleh Korea Selatan dan Singapura. Menurut Julius Shiskin (1974), beberapa indikator yang menjadi tolak ukur suatu negara mengalami resesi adalah penurunan produk domestik bruto suatu negara selama 2 kuartal berturut-turut, penurunan PDB hingga 1,5%, penurunan kegiatan manufaktur selama periode 6 bulan, serta salah satunya adalah menurunnya jumlah lapangan kerja di lebih dari 75% industri selama 6 bulan atau lebih. Jika pandemi Covid-19 tidak segera diselesaikan -salah satunya melalui upaya menemukan vaksin covid-19- bisa saja negara yang mengalami resesi akan bertambah, sesuai dengan kriteria yang disampaikan oleh Julius Shiskin.
Kondisi pertumbuhan ekonomi yang negatif disebabkan oleh pandemi dimana negara dipaksa untuk mengurangi aktivitas perekonomian secara global dalam rangka memutus mata rantai penyebaran covid-19. Di era keterbukaan ekonomi saat ini, covid-19 tentu saja mempengaruhi aktivitas perdagangan internasional. Penyebaran covid-19 yang tinggi akan mempengaruhi aktivitas ekspor dimana kondisi ini akan mempengaruhi produksi di suatu negara. Hal yang sama berlaku untuk impor, Covid-19 menyebabkan pengurangan permintaan secara agregat dalam suatu negara.
Penyebaran Covid-19 secara eksponensial menyebabkan penyebaran covid-19 menjadi sangat cepat. Pandemi Covid-19 telah memaksa banyak negara untuk menerapkan aturan baik berupa social distancing maupun lockdown. Artinya, dengan adanya social distancing atau lockdown menyebabkan mobilitas setiap individu menjadi terbatas. Aktivitas penerbangan juga menurun drastis pada saat pandemi Covid-19. Tempat yang berpotensi menimbulkan keramaian dalam kondisi covid-19 ditutup sementara agar penyebaran covid-19 bisa ditekan. Ketergantungan ekonomi suatu negara yang tinggi melalui aktivitas ekspor dan impor dalam kondisi pandemi akan berdampak besar dalam pertumbuhan ekonominya terutama menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang negatif.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh Indonesia. Penyebaran Covid-19 menyebabkan Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif. Pada kuartal II, pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh minus 5, 32%. Pertumbuhan ekonomi yang negatif ini memiliki konsekuensi pada pemutusan hubungan kerja di berbagai wilayah sehingga meningkatkan jumlah angka pengangguran. Menurut data Bappenas, angka pengangguran di Indonesia meningkat 3,7 juta akibat pandemi. Selain itu menurut data BPS, jumlah penduduk miskin juga bertambah 1,63 juta orang dibandingkan September 2019 akibat Covid-19.
Bagaimana respon pemerintah menghadapi pandemi covid-19? Awal munculnya kasus covid-19 di Wuhan, beberapa pejabat pemerintah di Indonesia masih menganggap covid-19 bukan merupakan permasalahan serius sehingga dalam merespon covid-19 cenderung lambat. Berbeda kasusnya dengan beberapa negara yang melakukan respon cepat sejak awal isu covid-19 menyebar. Salah satu contohnya adalah negara Vietnam. Pada awal penyebaran covid-19, Vietnam sudah mengambil langkah-langkah penanganan yang sangat serius atau cenderung “Overreaction”. Akibat dari “overreaction” tersebut, Vietnam menjadi salah satu negara yang tidak mengalami kasus kematian akibat covid pada bulan Maret dan April 2020. Vietnam juga cenderung berhasil menekan covid-19 pada gelombang kedua penyebaran covid-19.
Pada tanggal 13 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Keppres ini dikeluarkan dalam rangka membangun sinergitas antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, dimana gubernur, walikota, dan bupati sebagai Ketua Gugus Tugas di daerah, dalam menetapkan kebijakan di daerah masing-masing harus memperhatikan kebijakan pemerintah pusat. Namun pada bulan Juli 2020, Gugus Tugas dibubarkan oleh presiden dan digantikan dengan Satuan Tugas Penanganan Covid-19. Pada tanggal 31 Maret 2020, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Selain itu pada tanggal 13 April 2020, Presiden mengeluarkan Keppres Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana non-Alam Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional.
Untuk menekan dampak ekonomi yang ditimbulkan dari penyebaran covid-19, pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan diantaranya adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease yang kemudian disahkan menjadi undang-undang oleh DPR. Selain itu presiden kemudian mengeluarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020 yang kemudian diiringi dengan perubahan kedua Perpres Nomor 54 Tahun 2020 menjadi Perpres 72 Tahun 2020. Berdasarkan Perpres ini, pemerintah kemudian melakukan penamabahan anggaran penanganan covid-19 dari 677,2 triliun menjadi 695,2 triliun dengan rincian terdiri dari biaya kesehatan Rp. 87,55 triliun, perlindungan sosial sebesar Rp. 203,9 triliun, insentif usaha Rp. 120,61 triliun, bantuan UMKM Rp. 123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp. 537,57 triliun dan pembiayaan sektoral kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah sebesar Rp. 106,11 triliun.
Politik Tarik Ulur Penanganan Covid-19
Penurunan aktivitas ekonomi akibat Covid-19 memiliki dampak signifikan pada tingkat kesejahteraan. Tingkat kesejahteraan yang menurun ditunjukkan oleh penurunan konsumsi rumah tangga yang terus mengalami peningkatan. Kondisi ini kemudian direspon oleh pemerintah dengan memberikan stimulus fiskal agar stabilitas perekonomian tetap terjaga. Jika diselidiki lebih jauh, respon yang diambil oleh pemerintah dalam menangani kebijakan cenderung mengacu pada upaya menopang stabilitas ekonomi di tengah kondisi pandemi Covid-19. Dari rincian anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah, anggaran untuk bidang kesehatan cenderung lebih kecil dibandingkan dengan anggaran lainnya. Total anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah di bidang kesehatan adalah 87,55 triliun dari total anggaran penanganan covid-19 sebesar Rp. 695,2 triliun. Anggaran ini kemudian direalokasi untuk pemulihan ekonomi dimana anggaran untuk kesehatan berkurang menjadi Rp. 72,73 triliun. Anggaran ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan alokasi ke hal lain terutama untuk alokasi anggaran ke pembiayaan koorporasi sebesar 537,57 triliun. Sepertinya, upaya untuk menopang pertumbuhan ekonomi melalui pengalokasian anggaran menjadi tujuan utama dalam pengambilan kebijakan oleh pemerintah. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam menangani covid-19 cenderung condong ke arah pengamanan perekonomian negara dibandingkan menyelesaikan permasalahan kesehatan.
Selain dari sisi anggaran, jumlah test swab di Indonesia yang memiliki persentase yang rendah merupakan gambaran dari kurang seriusnya pemerintah dalam menangani permasalahan covid-19. Berdasarkan catatan WHO, jumlah orang yang dites di Indonesia hanya mencapai 0,5 per 1000 penduduk . Jumlah ini jauh di bawah standar tes kasus korona 1 per 1000 penduduk tiap minggu. Keseriusan pemerintah dipertanyakan dalam menangani covid-19. Tes swab yang rendah juga diikuti tidak adanya pemberlakuan lockdown di Indonesia. Indonesia tidak bisa mengambil langkah lockdown seperti yang dilakukan negara lain. Pemberlakuan lockdown akan berkonsekuensi pada jalannya perekonomian. Pemerintah memilih tidak melakukan lockdown karena akan meniadakan aktivitas ekonomi sehingga pada praktiknya pemerintah hanya menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Apabila melakukan lockdown, pemerintah harus mampu menjamin kebutuhan seluruh masyarakat sebagai konsekuensi penerapan lockdown. Pemerintah dalam hal ini belum mampu menjamin kebutuhan seluruh masyarakat sehingga memilih melaksanakan PSBB. Tetapi, konsekuensi dari kebijakan ini membuat penanganan penyebaran covid-19 cenderung tidak berhasil. Pemberlakuan PSBB hanya bersifat lokal saja di suatu kota/kabupaten atau provinsi serta konsekuensinya pemerintah hanya memberikan bantuan sosial ke masyarakat yang dianggap tidak mampu secara ekonomi.
Strategi dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah memang secara sengaja memberikan fokus pada stimulus perekonomian. Upaya menangani penyebaran covid-19 sepertinya dilakukan hanya sebatas tarik ulur kebijakan. Pemerintah dalam hal ini melakukan tarik ulur antara penanganan covid-19 dengan stabilitas ekonomi. Tentu saja dalam praktiknya, pemerintah kemudian mengambil keputusan untuk tetap mengutamakan stabilitas ekonomi. Pengutamaan stabilitas ekonomi ini diiringi dengan upaya untuk mengulur waktu penemuan vaksin covid-19. Vaksin covid-19 sepertinya menjadi satu-satunya harapan pemerintah dalam menangani covid-19. Seiring dengan menunggu adanya vaksin covid-19, jumlah korban meninggal akibat covid-19 tetap akan bertambah karena penanganan permasalahan covid-19 hanya berfokus pada permasalahan ekonomi akibat covid-19.
*Tulisan ini terbit di republika online
*Sumber gambar: https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2020/06/17062015923850661753813244.jpg